
Dari Naskah ke Layar: Ini yang Sebenarnya Dilakukan Script Supervisor di Lapangan
Waktu pertama kali denger istilah script supervisor, banyak yang mikir tugasnya cuma nyatet dialog, ngawasin pemain biar gak lupa naskah, atau ngejaga kontinuitas properti. Bahkan ada juga yang nyamain perannya sama script writer. Padahal, kenyataannya jauh lebih kompleks, apalagi kalau kamu berdiri di tengah produksi film mahasiswa yang super dinamis dan penuh kejutan.
Di program kerja DCB Film Vol.2 dan Vol.3, aku punya kesempatan buat jadi script supervisor. Peran ini mungkin jarang disorot, tapi diam-diam jadi kunci penting biar cerita di naskah bisa sampai ke penonton dengan utuh. Lewat artikel ini, aku pengen cerita apa aja yang sebenarnya dikerjakan script supervisor, lengkap dengan kekacauan, tantangan, dan pelajaran yang aku dapetin langsung di lapangan.
Di Balik Monitor: Barang Bawaan dan Otak Cadangan di Lokasi
Awalnya aku gak nyangka kalau jadi script supervisor bakal bikin aku nenteng banyak barang setiap hari. Kupikir bakal cukup bawa naskah dan pulpen, ternyata enggak. Dalam realitanya, aku harus bawa HP (buat nyatet, ngecek waktu, dokumentasi), powerbank, charger, papan jalan, catatan log, bahkan kalau bisa juga kamera sendiri.
Kenapa kamera? Karena dokumentasi visual itu penting banget buat bantu editor nyocokin tone warna, posisi properti, blocking pemain, dan buat jaga kontinuitas adegan. Tapi ya itu, pastiin kapasitas memorimu besar. Sekali take video behind the scene aja bisa makan banyak ruang.
Script supervisor juga gak kerja sendirian, komunikasi sama astrada dan clapper itu krusial. Karena kita harus tau shot ke berapa, take keberapa, untuk scene mana, supaya semuanya tercatat rapi dan akurat. Di sinilah pentingnya koordinasi dan kecepatan berpikir.
Semua Indera Harus Aktif (Termasuk Insting)
Di lapangan, kamu gak cuma pakai mata buat mantau properti atau telinga buat denger dialog. Tangan harus siap nyatet, kaki harus gesit gerak ke sana kemari. Bisa dibilang semua bagian tubuhmu harus multitasking dalam satu waktu sambil berdiri, mencatat, mengawasi, memfoto, dan kadang mengingatkan sutradara atau pemain.
Kalau camera operator fokus sama garis imajiner dan framing visual, script supervisor harus bisa melihat keseluruhan frame. Itulah kenapa kadang aku harus berdiri di posisi agak belakang dan DCB Film Vol.3 aku bahkan dibantuin buat naik ke atas meja Ketua Program Studi biar bisa lihat semua hal penting masuk frame dan tetap bisa catat detail yang mungkin berubah di tiap take.
Vol.2 vs Vol.3: Dua Pengalaman, Dua Tantangan
Waktu di DCB Film Vol.2, aku juga nulis skripnya, jadi otomatis lebih gampang menguasai isi ceritanya. Aku tau siapa aja pemainnya, perubahan emosi di tiap scene, dan susunan shotnya. Jadi waktu produksi dimulai, aku udah punya bayangan besar di kepala.
Tapi beda cerita di DCB Film Vol.3. Aku baru ditawari jadi script supervisor mendadak dan dekat sama waktu syuting, jadi persiapanku jauh lebih singkat. Aku harus belajar dari nol lagi terkait scene mana yang ada siapa, moodnya kayak apa, jumlah shot, dan lihat referensi visual dari DoP. Itu jadi pelajaran penting bahwa penguasaan naskah itu bukan sekadar opsional, tapi wajib hukumnya.
Dulu Kupikir Ini Peran Sepele, Sekarang Justru Aku Salut Sendiri
Jujur, aku sempat mikir, “Emang sepenting itu ya script supervisor?”, tapi setelah dua kali duduk di kursi itu, rasanya kayak jadi otak ketiga di lokasi. Jobdesk ini memang gak kelihatan mencolok, tapi kalau gak ada orang yang fokus penuh ke kontinuitas, cerita yang kita bangun bisa gampang banget retak di tengah jalan.
Sekarang aku percaya, setiap peran punya titik fokusnya sendiri, dan script supervisor adalah orang yang fokusnya adalah menjaga benang merah dari awal sampai akhir.

Refleksi dan Saran Buat yang Mau Jadi Script Supervisor
Yang paling aku syukuri dari dua kali pengalaman ini adalah aku jadi tahu kalau ada peran sepenting ini di balik sebuah produksi film. Jujur aja, kalau gak pernah terjun langsung, aku mungkin bakal terus nganggep kontinuitas itu hal kecil. Tapi ternyata, di lapangan, itu salah satu fondasi paling penting biar cerita bisa terasa utuh dan mulus dari awal sampai akhir.
Peran script supervisor memang gak mudah. Harus cepat tanggap, punya penguasaan skrip yang solid, dan gak kalah penting, fisik yang kuat. Serius, aku baru benar-benar paham kenapa jadi script supervisor itu butuh daya tahan tubuh, karena kamu akan terus bergerak, berdiri, mencatat, memperhatikan banyak detail di tengah kondisi cuaca dan suasana produksi yang gak selalu ideal.
Saran dariku?
Sebelum masuk ke lokasi, kuasai dulu skripnya baik-baik. Pelajari adegannya, castnya, shotnya. Kalau kamu punya waktu terbatas, mulai aja dari hal-hal sederhana yang bisa melatih fisik dan mental kamu. Aku sendiri waktu itu ngelatih diriku jalan kaki ke kampus setiap hari walaupun panas, itu ternyata ngebantu adaptasi dengan cuaca pas syuting. Karena syuting itu gak selalu di ruang nyaman ber-AC, kadang panas terik, kadang hujan, dan kamu tetap harus sigap.
Dan satu hal yang gak kalah penting, bangun komunikasi yang baik. Bukan cuma sama astrada dan clapper yang memang paling dekat dengan alur kerja kita, tapi juga dengan semua kru, terutama tim penyutradaraan, karena sebagai script supervisor, kamu adalah orang yang berdiri di tengah-tengah, menjaga jalannya cerita, dan jadi penghubung antara naskah dan eksekusi.